BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Perbedaan Jenis Kelamin Dan Gender
Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial
oleh Aan Oakley (1972), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap
sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap
kaum perempuan secara umum.
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin
mengacu pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan
antara tubuh laki-laki dan perempuan. Dengan demikian manakala kita berbicara
tentang perbedaan jenis kelamin maka kita akan membahas perbedaan biologis yang
umumnya dijumpai antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti perbedaan pada
bentuk, tinggi serta berat badan, pada struktur organ reproduksi dan fungsinya,
pada suara, dan sebagainya.
Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah konsep
hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak
ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis dan kodrat, melainkan
dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan.
Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat dikenal
perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi
tersebut perempuan umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti
watak keibuan, tidak agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional,
tergantung, memanjakan, peduli terhadap keperluan orang lain dan mempunyai
seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak lain dikaitkan dengan cirri
kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Namun dalam penelitiannya selama beberapa tahun di kalangan suku Arapesh yang
tinggal dipegunungan, suku Mundugumor yang tinggal di tepi sungai, dan suku
Tschambuli yang tinggal di tepi danau, Mead menemukan bahwa klasifikasi
tersebut tidak berlaku bagi ketiga kelompok etnik tersebut. Menurut Mead,
kepribadian kaum perempuan maupun kaum laki-laki di kalangan suku Arapesh
cenderung kearah sifat tolong menolong, tidak agresif dan penuh perhatian
terhadap kepentingan orang lain; disana tidak dijumpai seksualitas kuat maupun
dorongan kuat kearah kekuasaan. Pada suku Mundugumor, dipihak lain, baik
laki-laki maupun perempuan diharapkan bersifat agresif, perkasa dan keras
disertai seksualitas kuat sedangkan kepribadian yang mengarah ke sifat keibuan
dan watak melindungi hampir tidak Nampak.
Sedangkan pada suku etnik
Tschambuli, menurut temuan Mead dijumpai keadaan yang bertentangan dengan
masyarakat Barat, karena disana kaum perempuan justru bersifat menguasai
sedangkan kaum laki-laki berkepribadian emosional dan kurang bertanggung jawab.
Dari temuannya dilapangan mengenai tidak adanya hubungan antara kepribadian
dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa kepribadian laki-laki dan perempuan
tidak tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor
kebudayaan. Perbedaan kepribadian antar masyarakat maupun individu menurut Mead
merupakan hasil proses sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang dituntun
oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya,
agama, dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu.
Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik,
ekonomi, dan sosial budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian
gender tidak bersifat universal atau tidak berlaku secara umum, akan tetapi
bersifat situasional masyarakatnya.
2.2.
Gender Dan Sosialisasi
Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis
melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir
melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu menurutnya gender
dapat berubah. Sebagaimana halnya dalam sosialisasi pada umumnya, maka dalam
sosialisasi gender agen penting yang berperan pun terdiri atas keluarga,
kelompok bermain, dan media massa.
1. Keluarga
Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka
sosialisasi gender pun berawal dari keluarga. Melalui proses pembelajaran
gender (gender learning), seseorang mempelajari peran gender (gender
role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki
sudah dimulai semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir bayi perempuan
sering sudah diberi busana yang jenis dan warnanya berbeda dengan jenis dan
warna busana yang dikenakan oleh bayi laki-laki. Perlakuan yang diterima pun
sering cenderung berbeda. Korner mengemukakan, misalnya dalam berbagai
masyarakat Barat bayi perempuan cenderung diangkat dan ditimang-timang dengan
lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong dikala menangis daripada bayi
laki-laki. Dalam berkomunikasi lisan dengan seorang bayi bayi perempuan
diperlakukan berbeda. Bayi laki-laki misalnya diberi julukan maskulin seperti
tampan dan gagah, sedangkan bayi perempuan diberi julukan feminine seperti
cantik atau manis.
Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat
identitas gender adalah mainan yaitu dengan memberikan mainan berbeda untuk
setiap jenis kelamin. Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan
berupa boneka, namun boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung
berbeda dengan boneka yang diberikan kepada bayi perempuan. Dengan semakin
meningkatnya usia anak, jenis mainan yang diberikan pun semakin mengarah ke
peranan gender. Anak perempuan diberi mainan yang berbentuk peralatan rumah
tangga seperti perlengkapan memasak, sedangkan anak laki-laki diberi mainan
yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, alat pertukangan atau senjata.
2. Kelompok
Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak
dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Dibidang sosialisasi gender pun,
kelompok bermain menjalankan peran cukup besar.
Dikala berada dalam kelompok bermain laki-laki cenderung
memainkan jenis permainanan yang lebih menekankan pada segi persaingan,
kekuatan fisik dan keberanian sedangkan dalam kelompok bermain perempuan, anak
perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerja
sama. Setelah anak-anak berusia remaja dan mulai belajar berbagai tehnik untuk
menghadapi lawan jenis mereka. Remaja laki-laki belajar dari teman-temannya
bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif terhadap perempuanserta
mampu menerapkan berbagai cara untuk dapat “merebut” dan “menaklukkan” mereka.
Anak perempuan dipihak lain dididik oleh sesamanya bahwa perempuan cenderung
pasif, bertahan mampu mempertahankan kehormatannya seraya mempertahankan haknya
untuk memilih siapa diantara para pria yang mendekatinya pantas mendapat
perhatiannya.
Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan
kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati peraturannya. Seorang anak
laki-laki memilih untuk bermain dengan mainan anak perempuan dan berkumpul
dengan mereka, misalnya cenderung dicap”sissy” atau “banci” dan
menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak perempuan yang
berorientasi pada permainan anak laki-laki dan bermain dengan mereka yang dapat
dicap sebagai “tomboy”.
3. Sekolah
Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media
utamanya, yaitu kurikulum formal. Dalam mata pelajaran prakarya misalnya ada
sekolah yang, memisahkan sisiwa dengan sisiwi agar masing-masing dapat diberi
pelajaran berbeda.
Pembelajaran gender disekolah dapat pula berlangsung melalui
buku teks yang digunakan. Misalnya buku teks ilmu pengetahuan alam yang
cenderung mengabaikan kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan serta kesenian.
4. Media
Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana halnya dengan buku cerita nutuk kanak-kanak dan
remaja serta buku pelajaran di sekolah, maka madia massa pun sangat berperan
dalam sosialisasi gender, baik melaui pemberitaannya, kisah fiksi yang
dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang didalamnya. Media massa baik
berupa media cetak maupun media elektronik sering memuat iklan yang menunjang
stereotip gender (gender-stereotyped advertising). Iklan yang
mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga misalnya cenderung
menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu,
sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan symbol status
dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki.
Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik berjumlah banyak,
namun iklan demikian sering menekankan pekerjaan yang cenderung diperankan oleh
perempuan dan menempati posisi rendah dalam organisasi, seperti misalnya peran
sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris atau kasirn dan bukan pada jabatan
berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur atau kapten penerbangan.
Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan
gender telah membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan dimedia massa
kini sudah mulai menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotip gender
dan menonjolkan persamaan peran gender. Meskipun demikian, gerakan tersebut
hingga kini masih belum mampu menanggulangi praktik pembuatan iklan yang
mengandung stereotip gender.
2.3.
Gender Dan Stratifikasi
Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan sosial dikalangan
kaum perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan.
Gerakan ini dinamakan feminism, yang menurut Giddens telah bermula di Prancis
pada abad 18 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa,
Amerika, Afrika, dan Asia. Dibidang politik gerakan ini terpusat pada
perjuangan persamaan hak pilih dengan laki-laki dan telah menghasilkan
diberikannya persamaan hak pilih di banyak Negara.
1. Gender dan Pendidikan
Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu
dalam masyarakat dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat
kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan
dalam pendidikan formal. Ada nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga”, ada yang
mengatakan bahwa perempuan harus menempuh pendidikan yang oleh orang tuanya
dianggap “sesuai dengan kodrat perempuan,” dan ada yang berpandangan bahwa
seorang gadis sebaiknya menikah diwaktu muda agar tidak menjadi “perawan tua” .
Atas dasar nilai dan aturan demikian ada masyarakat yang mengizinkan perempuan
bersekolah tetapi hanya sampai jenjang tertentu saja atau dalam jenis atau
jalur pendidikan tertentu saja.
Sejalan dengan ekspansi pendidikan yang melanda masyarakat
dunia sejak awal abad yang lalu, maka angka partisipasi perempuan dalam segala
jenjang dan kesenjangan kesempatan pendidikan antara laki-laki masih tetap
menandai dunia pendidikan, dan pendidikan bagi semua orang masih merupakan suatu
harapan yang masih jauh dari kenyataan di lapangan.
2. Gender
dan Pekerjaan
Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan oleh
perempuan, mungkin yang dibayangkan hanyalah pekerjaan yang dijumpai di ranah
publik: seperti pabrik dan kantor, pekerjaan dalam perekonomian formal. Orang
sering melupakan bahwa di rumahnyapun perempuan sering melakukan berbagai
kegiatan yang menghasilkan dana seperti melakukan perdagangan eceran,
memproduksi atau memproses hasil pertanian dan sebagainya.
Salah satu masalah yang dihadapi kaum perempuan diberbagai
masyarakat adalah adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan (sex
discrimination) dibidang pekerjaan. Kasus ekstrem adalah aturan yang
melarang perempuan untuk bekerja di ranah publik. Ada juga masyarakat yang menerapkan
berbagai macam diskriminasi di bidang pekerjaan seperti dalam hal rekrutmen,
pelatihan, magang, atau pemutusan hubungan kerja.
Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerja
perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil (pregnancy discrimination),
diskriminasi terhadap orang hamil tersebut dapat berbentuk penolakan untuk
mempekerjakannya, pemutusan hubungan kerja, keharusan cuti dan sanksi lain.
3. Gender
dan Penghasilan
Dalam banyak masyarakat seorang pekerja, apapun jenis
kelaminnya, menerima upah yang sama untuk pekerjaan yang sama (equal pay for
equal work).
Namun, diberbagai masyarakat lain pekerja laki-laki
memperoleh upah lebih tinggi daripada upah pekerja perempuan walaupun pekerjaan
yang dilakukan sama. Gejala semacam ini dinamakan diskriminasi upah berdasarkan
jenis kelamin.
Macionis mencatat bahwa menurut data Departemen Tenaga Kerja
AS. 80% dari pekerjaan yang dinamakannya pekerjaan kerah merah jambu seperti pekerjaan
sekretaris, juru tik, dan stenograf dipegang oleh perempuan. Masalah yang
dihadapi para pekerja perempuan ini adalah bahwa upah yang mereka terima
dinilai terlalu rendah, yang mengakibatkan mereka sering terjerat yang oleh
Moore dan Sinclair (1995) dinamakan perangkap kemiskinan.
2.4.
Gender Dan Kekuasaan
1.
Gender dan Politik
Hak perempuan untuk memilih dan dipilih. Kalau selama beberapa dasawarsa ini
telah kita saksikan keikutsertaan kaum perempuan di Negara kita dalam pemilihan
umum untuk memilih anggota DPR, maupun dalam pemilihan untuk memilih kepala
desa, maka tentu kita tidak membayangkan bahwa dimasa dulu kaum perempuan kita
mempunyai hak pilih.
Berkat perjuangan mereka semenjak pertengahan abad ke-19, maka sejak 1893
barulah kaum perempuan diberbagai negara Barat mulai meraih hak pilih. Data
yang disajikan Giddens misalnya menunjukkan bahwa antara tahun 1893 dan 1928
hak pilih diraih kaum perempuan di 18 negara di Eropa, Amerika Utara serta di
Australia dan Selandia Baru. Mulai tahun 1929 hak pilih mulai diraih pula
disejumlah negara dikawasan Asia, Afrika, Dan Amerika Latin. Dari data
tersebut nampak pula bahwa di sejumlah Negara Eropa seperti Prancis,
Yugoslavia, dan Yunani kaum perempuan baru mengenal hak pilih setelah
berakhirnya Perang Dunia II.
2. Gender
dan Keluarga
Dalam banyak rumah tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan suami dan
istri. Hal itu tidak mengherankan, karena dalam berbagai masyarakat masih
banyak menganut pandangan lama bahwa tempat seorang perempuan adalah di ruman
dan di belakang suaminya.
Para ahli telah menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembagian kerja
dan kekuasaan suami istri dalam rumah tangga. Salah satu cara adalah merinci
pekerjaan rumah tangga apa saja dan dilakukan oleh siapa.
2.5.
Perbedaan Gender Dan Lahirnya Ketidakadilan
Sebenarnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak memunculkan
ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur
dimana kebanyakan perempuan menjadi korban sistem tersebut. Untuk memahami
persoalan yang muncul sebagai akibat adanya perbedaan dapat dilihat
manifestasinya berikut ini
1. Gender
dan Marginalisasi Perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi
perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam
hal ini perempuan disebabkan oleh perbedaan gender. Ada beberapa perbedaan
jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi perempuan
karena perbedaan gender.
Revolusi hijau misalnya, secara ekonomis telah menyingkirkan
kaum perempuan dari pekerjaannya dan kehilangan pekerjaan sehingga terjadilah
proses pemiskinan terhadap perempuan. Banyak kaum perempuan miskin di desa
termarginalisasi, sehingga semakin miskin dan tersingkir karena tidak
memperoleh pekerjaan di sawah. Hal ini berarti bahwa program revolusi hijau
direncanakan tanpa mempertimbangkan aspek gender.
Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat
kerja, akan tetapi juga terjadi disemua tingkat seperti dalam rumah tangga,
masyarakat atau kultur, dan bahkan sampai tingkat negara.
2. Gender
dan Subordinasi
Pandangan gender tidak saja berakibat terjadinya
marginalisasi, akan tetapi juga mengakibatkan terjadinya subordinasi terhadap
perempuan. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional,
irasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, maka
akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak
strategis.
Bentuk subordinasi akibat perbedaan gender ini
bermacam-macam, berbeda menurut tempat dan waktu. Pada masyarakat Jawa
misalnya, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi,
toh akhirnya akan kedapur. Bahkan dalam keluarga yang memiliki keuangan
terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada anak laki-laki. Contoh lain,
bila seorang laki-laki akan mengambil kredit di lembaga perbankan, maka bisa
membuat keputusan sendiri, sebaliknya istri harus seizin suaminya. Praktik
subordinasi itu sebenarnya bermula dari kesadaran gender yang tidak adil.
3. Gender
dan Stereotip
Stereotip adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yan
selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu
stereotip yang dikenalkan dalam bahasan ini adalh stereotip yang bersumber pada
pandangan gender. Karena itu banyak bentuk ketidakadilan terhadap jenis kelamin
yang kebanyakan adalah perempuan yang bersumber pada stereotip yang melekat
padanya. Sebagai contoh adanya anggapan bahwa perempuan yang bersolek atau
memakai rok mini akan memancing perhatian lawan jenis, sehingga bisa terjadi
pelecehan seksual dan perkosaan, maka perempuan tersebut yang disalahkan.
Contoh lain adalah adanya anggapan bahwa tugas perempuan adalah melayani suami
dirumah, karena itu pendidikan dianggap tidak terlalu penting bagi perempuan.
Stereotip semacam itu juga terjadi pada pekerjaan perempuan, seperti adanya
anggapan bahwa perempuan bukanlah pencari nafkah utama keluarga,maka perempuan
yang bekerja acap kali dianggap sebagai “sambilan” atau “membantu suami”.
Bahkan banyak jenis pekerjaan perempuan yang dianggap tidak bermoral, misalnya
pekerjaan sebagai “pelayan” di tempat-tempat minum, “tukang pijat”,atau
pekerjaan lainnya yang terkait dengan industri peerhotelan dan turisme, serta
pekerjaan yang dilakukan pada waktu malam hari.
4. Gender
dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalh suatu serangan baik
terhadap fisik maupun integrasi mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap
manusia terjadi karena berbagai macam sumber, salah satunya adalah kekerasan
yang bersumber pada anggapan gender. Kekerasan semacam ini disebutgender-related
violence, yang pada dasarnya terjadi karena adanya ketidaksetaraan
kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat. Banyak macam kejahatan yang bisa
dikategorikan sebagai kekerasan gender, antara lain:
1. Perkosaan terhadap perempuan,
termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa
untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa ada kerelaan dari yang bersangkutan.
Meskipun ketidakrelaan ini acapkali tidak terekspresikan karena berbagai
faktor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan ekonomi, sosial, bahkan tak
jarang karena adanya ancaman tertentu
2. Tindakan pemukuan dan serangan fisik
yang terjadi dalam rumah tangga. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga ini
adalah kekerasan dan penyiksaan terhadap anak.
3. Prostitusi atau pelacuran. Pelacuran
merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan karena suatu
mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan. Masyarakat dan negara acapkali
mamandang pekerja seksual selalu menggunakan standar ganda, artinya disatu
sisi,
4. pemerintah melarang dan menangkapi
pekerja seksual, namun dari sisi lain negara juga menarik pajak dari pekerja
seksual. Selain itu pekerja seksual dianggap rendah oleh masyarakat, tapi
kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan pekerja seksual selalu
ramai dikunjungi orang.
5. Kekerasan terhadap perempuan dalam
bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni
pelecehan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi
keuntungan seseorang. Hal ini bisa disebut pornografi.
6. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan
sterilisasi dalam keluarga berencana. Keluarga berencana dibanya masyarakat
menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Karena untuk memenuhi target untuk
mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan acapkali dijadikan korban demi
suksesnya program tersebut, meskipun kita tau bahwa persoalannya tidak saja
pada perempuan saja tetapi juga pada kaum laki-laki. Namun seringkali perempuan
yang dipaksa melakukan sterilisasi, meskipun sering membahayakan perempuan baik
secara fisik maupun kejiwaan.
7. Kekerasan terselubung. Ada beberapa
bentuk yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terselubung, misalnya
memegang atau menyentuh perempuan dalam berbagai cara atau kesempatan tanpa
kerelaannya. Jenis kekerasan terselubung ini dapat terjadi di tempat kerja,
tempat umum seperti di dalam bus dan sebagainya.
8. Kekerasan terhadap perempuan yang
paling umum dan sering terjadi dan sering dilakukan dalam masyarakat adalah
berupa pelecehan seksual. Jenis kekerasan semacam ini banyak terjadi. Pelecehan
ini terjadi dalam bentuk lelucon jorok dihadapan kaum perempuan, meyakiti atau
membuat malu seseorang dengan omongan kotor, mengintrogasi seseorang tentang
kehidupan atau kegiatan seksualnya, meminta imbalan seksual dalam rangka janji
untuk mendapatkan kerja atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh/menyenggol
bagian tubuh tanpa serela atau tanpa seizing yang bersangkutan.
2.6.
Perspektif
Ada pendapat berbeda-beda dalam merespon ketidakadilan gender yang terjadi
dalam masyarakat, karena perbedaan pandangan, perspektif atau paradigma yang
dianutnya. Dalam studi tentang gender, terdapat dua toeri besar dalam ilmu
sosial yang melahirkan aliran feminism, yakni aliran fungsionalisme dan aliran
konflik.
1. Paradigma
Fungsionalisme dan Feminisme
Aliran fungsionalisme dikembangkan
oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Penganut aliran ini berpendapat bahwa
masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan
dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan dan
keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan. Menurut teori
struktural fungsional konsep gender dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi
masing-masing laki-laki dan perempuan agar tercipta keharmonisan antara
laki-laki dan perempuan.
Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran
feminisme liberal. Sebelum menjelaskan tentang feminisme liberal, apa
sebenarnya yang disebut dengan feminisme ? Pada umumnya orang berprasangka
bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya
melawan pranata sosial yang ada, seperti institusi rumah tangga, perkawinan
maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat. Karena adanya
prasangka tersebut, maka feminisme tidak mendapat tempat pada kaum perempuan,
bahkan ditolak oleh masyarakat. Sedangkan menurut kaum feminisme, feminisme
seperti halnya aliran pemikiran dan gerakan yang lain, bukan merupakan suatu
pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai
ideologi, paradigma, serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan feminisme
berasal dari analisis dan ideologi yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan
tujuan, yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan.
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan
kesamaan berasal dari rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan
publik. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja
feminisme liberal tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi
setiap individu, termasuk didalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang
sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan
kesempatan. Oleh karena itu, ketika ditanyakan mengapa kaum perempuan dalm
keadaan terbelakang atau tertinggal? Menurut feminisme liberal hal itu
disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”. Artinya jika sistem sudah memberikan
kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan, tetapi ternyata kaum
perempuan tersebut kalah bersaing, maka kaum perempuan sendiri yang perlu
disalahkan. Aliran ini kemudian mengusulkan bahwa untuk memecahkan masalah kaum
perempuan cara yang harus dilakukan adalah menyiapkan kaum perempuan agar bisa
bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.
2. Paradigma
Konflik dan Feminisme
Teori konflik lahir sebagai reaksi terhadap teori struktural
fungsional. Teori ini percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki
kepentingan dan kekuasaan yang merupakan sentral dari setiap hubungan sosial
termasuk hubungan laki-laki dan perempuan.
Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan
sebagai alat untuk menguasai kekuasaan, tidak terkecuali hubungan laki-laki dan
perempuan. Atas dasar asumsi itu, maka perubahan akan terjadi melalui konflik,
yang berakibat akan mengubah posisi dan hubungan. Aliran feminisme yang
dikategorikan dalam teori konflik, adalah:
Kelompok pertama, aliran feminisme radikal.
Aliran ini justru muncul sebagai kultur sexismatau diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pornografi.
Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya
perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau
biologis, sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan
terhadap kaum perempuan oleh patriarkinya. Dengan demikian “kaum laki-laki”
secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Menurut penganut
aliran feminisme radikal, patriarki adalah sumber ideologi penindasan dimana
laki-laki memiliki kekuasaan superior.
Akan tetapi aliran feminisme Marxis, menganggap bahwa
analisis yang dilakukan feminis radikal disebut sebagai ahistoris, karena
menganggap patriarki sebagai hal yang universal dan merupakan akar dari segala
penindasan.
Kelompok penganut teori konflik yang kedua adalah feminisme
marxis. Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminisme radikal. Bagi
mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan
produksi. Karl Mark sendiri tidak banyak menjelaskan dalam teorinya tentang
posisi kaum perempuan dalam perubahan sosial. Menurut Mark, hubungan antara
suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis, serta
tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan oleh berbagai
cara dan alasan karena menguntungkan. Pertama, eksploitasi pulang
kerumah, yakni suatu proses yang dilakukan untuk membuat laki-laki yang
dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Kedua, kaum
perempuan dianggapa bermanfaat bagi sistem kapitalisme reproduksi buruh
murah. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap
menguntungkan sistem kapitalisme karena umumnya upah buruh perempuan sering
kali rendah daripada upah buruh laki-laki.
Aliran ini tidak menganggap patriarki sebagai permasalahan,
akan tetapi justru sistem kapitlisme yang menjadi penyebabnya.
Aliran konflik yang ketiga adalah feminisme sosialis.
Feminisme sosialis mulai dikenal tahun 1970-an. Mitchel dalam bukunya woman
estate telah meletakkan dasar-dasar feminisme sosialis. Menurutnya
politik penindasan sebagai suatu konsekuensi baik penindasan kelas maupun
penindasan patriarkis.
Penganut aliran ini menerima dan menggunakan prinsip dasar
marxisme dan memperluasnya dengan bidang yang selama ini diabaikan oleh teori
marxis. Menurut banyak kalangan terutama pengikut gerakan perempuan aliran ini
dianggap lebih memiliki harapan, karena analisis yang ditawarkan lebih dapat
diterapkan. Bagi feminisme sosialis, penindasan perempuan terjadi dikelas
manapun, bahkan revolusi sosialis juga tidak serta merta menaikkan posisi
perempuan. Asumsi yang digunakan oleh feminis sosialis adalah bahwa hidup dalam
masyarakat yang kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan
perempuan. Feminis sosialis menolak visi marxis yang meletakkan eksploitasi
ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya feminisme tanpa kesadaran
kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis patriarki perlu
dikawinkan dengan analisis kelas.
Lebih lanjut, teori kapitalis patriarki, yang pertama kali
diungkapkan oleh Zillah Eisenstein memulai teorinya dengan tesis perempuan
sebagai suatu kelas yang diterapkan, dengan menguraikan apa yang disebut oleh
Marx sebagai keterasingan, untuk melihat nasib kaum perempuan. Dalam analisanya
Eisenstein melihat bahwa patriarki sudah muncul sejak sebelum kapitalisme dan
tetap ada pada era pascakapitalisme.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin
mengacu pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan
antara tubuh laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender adalah suatu istilah
yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan
secara sosial. Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan
peran antara laki-laki dan perempuan.
Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat dikenal
perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi
tersebut perempuan umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti
watak keibuan, tidak agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional,
tergantung, memanjakan, peduli terhadap keperluan orang lain dan mempunyai
seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak lain dikaitkan dengan cirri
kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat
istiadat, budaya, agama, dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku
bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan sejarah,
perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, atau karena kemajuan
pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak berlaku
secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
J.Dwi
Narwoko dan Bagong suyanto. 2004. Sosiologi: teks pengantar dan terapan
edisi ke-3. Jakarta: Kencana
Sunarto,
Kamanto. 2004. Pengantar sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
0 comments:
Post a Comment