Saturday 18 April 2015

Makalah Tentang Perbedaan Jenis Kelamin Dan Gender

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perbedaan Jenis Kelamin Dan Gender
            Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Aan Oakley (1972), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.
            Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan. Dengan demikian manakala kita berbicara tentang perbedaan jenis kelamin maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi serta berat badan, pada struktur organ reproduksi dan fungsinya, pada suara, dan sebagainya.
            Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis dan kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
            Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat dikenal perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi tersebut perempuan umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap keperluan orang lain dan mempunyai seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak  lain dikaitkan dengan cirri kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
            Namun dalam penelitiannya selama beberapa tahun di kalangan suku Arapesh yang tinggal dipegunungan, suku Mundugumor yang tinggal di tepi sungai, dan suku Tschambuli yang tinggal di tepi danau, Mead menemukan bahwa klasifikasi tersebut tidak berlaku bagi ketiga kelompok etnik tersebut. Menurut Mead, kepribadian kaum perempuan maupun kaum laki-laki di kalangan suku Arapesh cenderung kearah sifat tolong menolong, tidak agresif dan penuh perhatian terhadap kepentingan orang lain; disana tidak dijumpai seksualitas kuat maupun dorongan kuat kearah kekuasaan. Pada suku Mundugumor, dipihak lain, baik laki-laki maupun perempuan diharapkan bersifat agresif, perkasa dan keras disertai seksualitas kuat sedangkan kepribadian yang mengarah ke sifat keibuan dan watak melindungi hampir tidak Nampak.
            Sedangkan pada suku etnik Tschambuli, menurut temuan Mead dijumpai keadaan yang bertentangan dengan masyarakat Barat, karena disana kaum perempuan justru bersifat menguasai sedangkan kaum laki-laki berkepribadian emosional dan kurang bertanggung jawab. Dari temuannya dilapangan mengenai tidak adanya hubungan antara kepribadian dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa kepribadian laki-laki dan perempuan tidak tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan. Perbedaan kepribadian antar masyarakat maupun individu menurut Mead merupakan hasil proses sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
            Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
                                
2.2. Gender Dan Sosialisasi
            Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu menurutnya gender dapat berubah. Sebagaimana halnya dalam sosialisasi pada umumnya, maka dalam sosialisasi gender agen penting yang berperan pun terdiri atas keluarga, kelompok bermain, dan media massa.
1.      Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana bentuk-bentuk sosialisasi yang lain, maka sosialisasi gender pun berawal dari keluarga. Melalui proses pembelajaran gender (gender learning), seseorang mempelajari peran gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
Proses sosialisasi ke dalam peran perempuan dan laki-laki sudah dimulai semenjak seorang bayi dilahirkan. Sejak lahir bayi perempuan sering sudah diberi busana yang jenis dan warnanya berbeda dengan jenis dan warna busana yang dikenakan oleh bayi laki-laki. Perlakuan yang diterima pun sering cenderung berbeda. Korner mengemukakan, misalnya dalam berbagai masyarakat Barat bayi perempuan cenderung diangkat dan ditimang-timang dengan lebih hati-hati dan lebih cepat ditolong dikala menangis daripada bayi laki-laki. Dalam berkomunikasi lisan dengan seorang bayi bayi perempuan diperlakukan berbeda. Bayi laki-laki misalnya diberi julukan maskulin seperti tampan dan gagah, sedangkan bayi perempuan diberi julukan feminine seperti cantik atau manis.
Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender adalah mainan yaitu dengan memberikan mainan berbeda untuk setiap jenis kelamin. Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa boneka, namun boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung berbeda dengan boneka yang diberikan kepada bayi perempuan. Dengan semakin meningkatnya usia anak, jenis mainan yang diberikan pun semakin mengarah ke peranan gender. Anak perempuan diberi mainan yang berbentuk peralatan rumah tangga seperti perlengkapan memasak, sedangkan anak laki-laki diberi mainan yang berbentuk kendaraan bermotor, alat berat, alat pertukangan atau senjata.
2.      Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Dibidang sosialisasi gender pun, kelompok bermain menjalankan peran cukup besar.
Dikala berada dalam kelompok bermain laki-laki cenderung memainkan jenis permainanan yang lebih menekankan pada segi persaingan, kekuatan fisik dan keberanian sedangkan dalam kelompok bermain perempuan, anak perempuan cenderung memainkan permainan yang lebih menekankan pada segi kerja sama. Setelah anak-anak berusia remaja dan mulai belajar berbagai tehnik untuk menghadapi lawan jenis mereka. Remaja laki-laki belajar dari teman-temannya bahwa laki-laki harus senantiasa berani dan agresif terhadap perempuanserta mampu menerapkan berbagai cara untuk dapat “merebut” dan “menaklukkan” mereka. Anak perempuan dipihak lain dididik oleh sesamanya bahwa perempuan cenderung pasif, bertahan mampu mempertahankan kehormatannya seraya mempertahankan haknya untuk memilih siapa diantara para pria yang mendekatinya pantas mendapat perhatiannya.
Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain pun menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati peraturannya. Seorang anak laki-laki memilih untuk bermain dengan mainan anak perempuan dan berkumpul dengan mereka, misalnya cenderung dicap”sissy” atau “banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa dihadapi anak perempuan yang berorientasi pada permainan anak laki-laki dan bermain dengan mereka yang dapat dicap sebagai “tomboy”.
3.      Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, yaitu kurikulum formal. Dalam mata pelajaran prakarya misalnya ada sekolah yang, memisahkan sisiwa dengan sisiwi agar masing-masing dapat diberi pelajaran berbeda.
Pembelajaran gender disekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang digunakan. Misalnya buku teks ilmu pengetahuan alam yang cenderung mengabaikan kontribusi ilmuwan perempuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta kesenian.
4.      Media Massa Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sebagaimana halnya dengan buku cerita nutuk kanak-kanak dan remaja serta buku pelajaran di sekolah, maka madia massa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender, baik melaui pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang didalamnya. Media massa baik berupa media cetak maupun media elektronik sering memuat iklan yang menunjang stereotip gender (gender-stereotyped advertising). Iklan yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga misalnya cenderung menampilkan perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai ibu, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan symbol status dan kesuksesan di bidang pekerjaan cenderung menampilkan model laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik berjumlah banyak, namun iklan demikian sering menekankan pekerjaan yang cenderung diperankan oleh perempuan dan menempati posisi rendah dalam organisasi, seperti misalnya peran sebagai resepsionis, pramugari, sekretaris atau kasirn dan bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur atau kapten penerbangan.
Gerakan sosial kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan gender telah membawa dampak pada dunia periklanan. Berbagai iklan dimedia massa kini sudah mulai menampilkan kepekaan dengan jalan menghindari stereotip gender dan menonjolkan persamaan peran gender. Meskipun demikian, gerakan tersebut hingga kini masih belum mampu menanggulangi praktik pembuatan iklan yang mengandung stereotip gender.

2.3. Gender Dan Stratifikasi
            Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan sosial dikalangan kaum perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan. Gerakan ini dinamakan feminism, yang menurut Giddens telah bermula di Prancis pada abad 18 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain di benua Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia. Dibidang politik gerakan ini terpusat pada perjuangan persamaan hak pilih dengan laki-laki dan telah menghasilkan diberikannya persamaan hak pilih di banyak Negara.
1.      Gender dan Pendidikan
Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. Ada nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga”, ada yang mengatakan bahwa perempuan harus menempuh pendidikan yang oleh orang tuanya dianggap “sesuai dengan kodrat perempuan,” dan ada yang berpandangan bahwa seorang gadis sebaiknya menikah diwaktu muda agar tidak menjadi “perawan tua” . Atas dasar nilai dan aturan demikian ada masyarakat yang mengizinkan perempuan bersekolah tetapi hanya sampai jenjang tertentu saja atau dalam jenis atau jalur pendidikan tertentu saja.
Sejalan dengan ekspansi pendidikan yang melanda masyarakat dunia sejak awal abad yang lalu, maka angka partisipasi perempuan dalam segala jenjang dan kesenjangan kesempatan pendidikan antara laki-laki masih tetap menandai dunia pendidikan, dan pendidikan bagi semua orang masih merupakan suatu harapan yang masih jauh dari kenyataan di lapangan.
2.      Gender dan Pekerjaan
Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan, mungkin yang dibayangkan hanyalah pekerjaan yang dijumpai di ranah publik: seperti pabrik dan kantor, pekerjaan dalam perekonomian formal. Orang sering melupakan bahwa di rumahnyapun perempuan sering melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan dana seperti melakukan perdagangan eceran, memproduksi atau memproses hasil pertanian dan sebagainya.
Salah satu masalah yang dihadapi kaum perempuan diberbagai masyarakat adalah adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan (sex discrimination) dibidang pekerjaan. Kasus ekstrem adalah aturan yang melarang perempuan untuk bekerja di ranah publik. Ada juga masyarakat yang menerapkan berbagai macam diskriminasi di bidang pekerjaan seperti dalam hal rekrutmen, pelatihan, magang, atau pemutusan hubungan kerja.
Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerja perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil (pregnancy discrimination), diskriminasi terhadap orang hamil tersebut dapat berbentuk penolakan untuk mempekerjakannya, pemutusan hubungan kerja, keharusan cuti dan sanksi lain.

3.      Gender dan Penghasilan
Dalam banyak masyarakat seorang pekerja, apapun jenis kelaminnya, menerima upah yang sama untuk pekerjaan yang sama (equal pay for equal work).
 Namun, diberbagai masyarakat lain pekerja laki-laki memperoleh upah lebih tinggi daripada upah pekerja perempuan walaupun pekerjaan yang dilakukan sama. Gejala semacam ini dinamakan diskriminasi upah berdasarkan jenis kelamin.
Macionis mencatat bahwa menurut data Departemen Tenaga Kerja AS. 80% dari pekerjaan yang dinamakannya pekerjaan kerah merah jambu seperti pekerjaan sekretaris, juru tik, dan stenograf dipegang oleh perempuan. Masalah yang dihadapi para pekerja perempuan ini adalah bahwa upah yang mereka terima dinilai terlalu rendah, yang mengakibatkan mereka sering terjerat yang oleh Moore dan Sinclair (1995) dinamakan perangkap kemiskinan.

2.4. Gender Dan Kekuasaan
1. Gender dan Politik
            Hak perempuan untuk memilih dan dipilih. Kalau selama beberapa dasawarsa ini telah kita saksikan keikutsertaan kaum perempuan di Negara kita dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, maupun dalam pemilihan untuk memilih kepala desa, maka tentu kita tidak membayangkan bahwa dimasa dulu kaum perempuan kita mempunyai hak pilih.
            Berkat perjuangan mereka semenjak pertengahan abad ke-19, maka sejak 1893 barulah kaum perempuan diberbagai negara Barat mulai meraih hak pilih. Data yang disajikan Giddens misalnya menunjukkan bahwa antara tahun 1893 dan 1928 hak pilih diraih kaum perempuan di 18 negara di Eropa, Amerika Utara serta di Australia dan Selandia Baru. Mulai tahun 1929 hak pilih mulai diraih pula disejumlah negara  dikawasan Asia, Afrika, Dan Amerika Latin. Dari data tersebut nampak pula bahwa di sejumlah Negara Eropa seperti Prancis, Yugoslavia, dan Yunani kaum perempuan baru mengenal hak pilih setelah berakhirnya Perang Dunia II.
2.    Gender dan Keluarga
            Dalam banyak rumah tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan suami dan istri. Hal itu tidak mengherankan, karena dalam berbagai masyarakat masih banyak menganut pandangan lama bahwa tempat seorang perempuan adalah di ruman dan di belakang suaminya.
            Para ahli telah menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembagian kerja dan kekuasaan suami istri dalam rumah tangga. Salah satu cara adalah merinci pekerjaan rumah tangga apa saja dan dilakukan oleh siapa.

2.5. Perbedaan Gender Dan Lahirnya Ketidakadilan
            Sebenarnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak memunculkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem dan struktur dimana kebanyakan perempuan menjadi korban sistem tersebut. Untuk memahami persoalan yang muncul sebagai akibat adanya perbedaan dapat dilihat manifestasinya berikut ini
 1.      Gender dan Marginalisasi Perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan disebabkan oleh perbedaan gender. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi perempuan karena perbedaan gender.
Revolusi hijau misalnya, secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya dan kehilangan pekerjaan sehingga terjadilah proses pemiskinan terhadap perempuan. Banyak kaum perempuan miskin di desa termarginalisasi, sehingga semakin miskin dan tersingkir karena tidak memperoleh pekerjaan di sawah. Hal ini berarti bahwa program revolusi hijau direncanakan tanpa mempertimbangkan aspek gender.
Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat kerja, akan tetapi juga terjadi disemua tingkat seperti dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur, dan bahkan sampai tingkat negara.
2.      Gender dan Subordinasi
Pandangan gender tidak saja berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga mengakibatkan terjadinya subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis.
Bentuk subordinasi akibat perbedaan gender ini bermacam-macam, berbeda menurut tempat dan waktu. Pada masyarakat Jawa misalnya, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan kedapur. Bahkan dalam keluarga yang memiliki keuangan terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada anak laki-laki. Contoh lain, bila seorang laki-laki akan mengambil kredit di lembaga perbankan, maka bisa membuat keputusan sendiri, sebaliknya istri harus seizin suaminya. Praktik subordinasi itu sebenarnya bermula dari kesadaran gender yang tidak adil.
3.      Gender dan Stereotip
Stereotip adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yan selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotip yang dikenalkan dalam bahasan ini adalh stereotip yang bersumber pada pandangan gender. Karena itu banyak bentuk ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan adalah perempuan yang bersumber pada stereotip yang melekat padanya. Sebagai contoh adanya anggapan bahwa perempuan yang bersolek atau memakai rok mini akan memancing perhatian lawan jenis, sehingga bisa terjadi pelecehan seksual dan perkosaan, maka perempuan tersebut yang disalahkan. Contoh lain adalah adanya anggapan bahwa tugas perempuan adalah melayani suami dirumah, karena itu pendidikan dianggap tidak terlalu penting bagi perempuan. Stereotip semacam itu juga terjadi pada pekerjaan perempuan, seperti adanya anggapan bahwa perempuan bukanlah pencari nafkah utama keluarga,maka perempuan yang bekerja acap kali dianggap sebagai “sambilan” atau “membantu suami”. Bahkan banyak jenis pekerjaan perempuan yang dianggap tidak bermoral, misalnya pekerjaan sebagai “pelayan” di tempat-tempat minum, “tukang pijat”,atau pekerjaan lainnya yang terkait dengan industri peerhotelan dan turisme, serta pekerjaan yang dilakukan pada waktu malam hari.
4.      Gender dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalh suatu serangan baik terhadap fisik maupun integrasi mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia terjadi karena berbagai macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan gender. Kekerasan semacam ini disebutgender-related violence, yang pada dasarnya  terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat. Banyak macam kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, antara lain:
1.      Perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa ada kerelaan dari yang bersangkutan. Meskipun ketidakrelaan ini acapkali tidak terekspresikan karena berbagai faktor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan ekonomi, sosial, bahkan tak jarang karena adanya ancaman tertentu
2.      Tindakan pemukuan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga ini adalah kekerasan dan penyiksaan terhadap anak.
3.      Prostitusi atau pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan karena suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan. Masyarakat dan negara acapkali mamandang pekerja seksual selalu menggunakan standar ganda, artinya disatu sisi,
4.      pemerintah melarang dan menangkapi pekerja seksual, namun dari sisi lain negara juga menarik pajak dari pekerja seksual. Selain itu pekerja seksual dianggap rendah oleh masyarakat, tapi kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan pekerja seksual selalu ramai dikunjungi orang.
5.      Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. Hal ini bisa disebut pornografi.
6.      Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana. Keluarga berencana dibanya masyarakat menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Karena untuk memenuhi target untuk mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan acapkali dijadikan korban demi suksesnya program tersebut, meskipun kita tau bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan saja tetapi juga pada kaum laki-laki. Namun seringkali perempuan yang dipaksa melakukan sterilisasi, meskipun sering membahayakan perempuan baik secara fisik maupun kejiwaan.
7.      Kekerasan terselubung. Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terselubung, misalnya memegang atau menyentuh perempuan dalam berbagai cara atau kesempatan tanpa kerelaannya. Jenis kekerasan terselubung ini dapat terjadi di tempat kerja, tempat umum seperti di dalam bus dan sebagainya.
8.      Kekerasan terhadap perempuan yang paling umum dan sering terjadi dan sering dilakukan dalam masyarakat adalah berupa pelecehan seksual. Jenis kekerasan semacam ini banyak terjadi. Pelecehan ini terjadi dalam bentuk lelucon jorok dihadapan kaum perempuan, meyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh/menyenggol bagian tubuh tanpa serela atau tanpa seizing yang bersangkutan.

2.6. Perspektif
              Ada pendapat berbeda-beda dalam merespon ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat, karena perbedaan pandangan, perspektif atau paradigma yang dianutnya. Dalam studi tentang gender, terdapat dua toeri besar dalam ilmu sosial yang melahirkan aliran feminism, yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik.
1.      Paradigma Fungsionalisme dan Feminisme
            Aliran fungsionalisme dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Penganut aliran ini berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan. Menurut teori struktural fungsional konsep gender dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi masing-masing laki-laki dan perempuan agar tercipta keharmonisan antara laki-laki dan perempuan.
Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran feminisme liberal. Sebelum menjelaskan tentang feminisme liberal, apa sebenarnya yang disebut dengan feminisme ? Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, seperti institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat. Karena adanya prasangka tersebut, maka feminisme tidak mendapat tempat pada kaum perempuan, bahkan ditolak oleh masyarakat. Sedangkan menurut kaum feminisme, feminisme seperti halnya aliran pemikiran dan gerakan yang lain, bukan merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai ideologi, paradigma, serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideologi yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan tujuan, yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan.
Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan kesamaan berasal dari rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminisme liberal tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan. Oleh karena itu, ketika ditanyakan mengapa kaum perempuan dalm keadaan terbelakang atau tertinggal? Menurut feminisme liberal hal itu disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”. Artinya jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan, tetapi ternyata kaum perempuan tersebut kalah bersaing, maka kaum perempuan sendiri yang perlu disalahkan. Aliran ini kemudian mengusulkan bahwa untuk memecahkan masalah kaum perempuan cara yang harus dilakukan adalah menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.
2.      Paradigma Konflik dan Feminisme
Teori konflik lahir sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsional. Teori ini percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan sentral dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan perempuan.
            Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat untuk menguasai kekuasaan, tidak terkecuali hubungan laki-laki dan perempuan. Atas dasar asumsi itu, maka perubahan akan terjadi melalui konflik, yang berakibat akan  mengubah posisi dan hubungan. Aliran feminisme yang dikategorikan dalam teori konflik, adalah:
Kelompok pertama, aliran feminisme radikal. Aliran ini justru muncul sebagai kultur sexismatau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pornografi.
Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh patriarkinya. Dengan demikian “kaum laki-laki” secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Menurut penganut aliran feminisme radikal, patriarki adalah sumber ideologi penindasan dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior.
Akan tetapi aliran feminisme Marxis, menganggap bahwa analisis yang dilakukan feminis radikal disebut sebagai ahistoris, karena menganggap patriarki sebagai hal yang universal dan merupakan akar dari segala penindasan.
Kelompok penganut teori konflik yang kedua adalah feminisme marxis. Kelompok  ini menolak keyakinan kaum feminisme radikal. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Karl Mark sendiri tidak banyak menjelaskan dalam teorinya tentang posisi kaum perempuan dalam perubahan sosial. Menurut Mark, hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan oleh berbagai cara dan alasan karena menguntungkan. Pertama, eksploitasi pulang kerumah, yakni suatu proses yang dilakukan untuk membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Kedua, kaum perempuan dianggapa bermanfaat bagi sistem kapitalisme reproduksi buruh murah. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap menguntungkan sistem kapitalisme karena umumnya upah buruh perempuan sering kali rendah daripada upah buruh laki-laki.
Aliran ini tidak menganggap patriarki sebagai permasalahan, akan tetapi justru sistem kapitlisme yang menjadi penyebabnya.
Aliran konflik yang ketiga adalah feminisme sosialis. Feminisme sosialis mulai dikenal tahun 1970-an. Mitchel dalam bukunya woman estate telah meletakkan dasar-dasar feminisme sosialis. Menurutnya politik penindasan sebagai suatu konsekuensi baik penindasan kelas maupun penindasan patriarkis.
Penganut aliran ini menerima dan menggunakan prinsip dasar marxisme dan memperluasnya dengan bidang yang selama ini diabaikan oleh teori marxis. Menurut banyak kalangan terutama pengikut gerakan perempuan aliran ini dianggap lebih memiliki harapan, karena analisis yang ditawarkan lebih dapat diterapkan. Bagi feminisme sosialis, penindasan perempuan terjadi dikelas manapun, bahkan revolusi sosialis juga tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Asumsi yang digunakan oleh feminis sosialis adalah bahwa hidup dalam masyarakat yang kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan perempuan. Feminis sosialis menolak visi marxis yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas.
Lebih lanjut, teori kapitalis patriarki, yang pertama kali diungkapkan oleh Zillah Eisenstein memulai teorinya dengan tesis perempuan sebagai suatu kelas yang diterapkan, dengan menguraikan apa yang disebut oleh Marx sebagai keterasingan, untuk melihat nasib kaum perempuan. Dalam analisanya Eisenstein melihat bahwa patriarki sudah muncul sejak sebelum kapitalisme dan tetap ada pada era pascakapitalisme.
  
BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
              Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis pada perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
              Mead mengemukakan bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat Barat dikenal perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan. Dalam klasifikasi tersebut perempuan umumnya dikaitkan dengan cirri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, tidak agresif, berhati lembut, suka menolong, emosional, tergantung, memanjakan, peduli terhadap keperluan orang lain dan mempunyai seksualitas feminism. Laki-laki, dipihak  lain dikaitkan dengan cirri kepribadian keras, agresif, menguasai dan seksualitas kuat.
Gender bersifat dinamis, dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA
J.Dwi Narwoko dan Bagong suyanto. 2004. Sosiologi: teks pengantar dan terapan edisi ke-3. Jakarta: Kencana
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


0 comments:

Post a Comment