FISIKA DALAM SOSIAL BUDAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
sistem pembelajaran panggung pentas (delivery system) menjadi sistem
pembelajaran yang biasa digunakan Guru dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar)
Fisika. Pada sistem pembelajaran ini Guru berdiri di depan siswa untuk
menyampaikan pengetahuan, sementara siswa menerimanya tanpa harus mengetahui
prosesnya. Siswa dipaksa menerima ilmu, bukan memahami budaya ilmu, sehingga
kehilangan orientasi hidupnya karena mereka tidak dituntun membaca fenomena
sekelilingnya .
Sebagai akibat pendekatan pembelajaran yang cenderung linear
indoktrinatif, siswa bukan cuma menjauh tetapi juga tidak mampu menghadapi
kehidupan nyata, gagap terhadap masalahnya sendiri, apalagi dengan lingkungan
dan masyarakatnya. Dalam pandangan lainnya pendidikan sekarang ini cenderung
hanya mencecar otak kiri saja, kurang membangun individu belajar, serta tidak
menumbuhkan kemandirian.
Analisa, demikian tentu bukan tanpa fakta, sebab dalam praktiknya masih
ditemukan suasana proses belajar mengajar yang membenarkan sinyalemen di atas.
Yang paling menonjol adalah tradisi belajar hanya mengandalkan siswa sebagai
"penghapal ilmu" bukan "pemaham ilmu" serta sarat kegiatan
"drill" (latihan soal) dengan maksud mengejar nilai rapor atau nilai
ujian yang tinggi. Padahal menurut Ausuble, pendidikan hapalan dan drill adalah
pendidikan yang tidak bermakna. Pendidikan cara ini sangat membelenggu siswa
dan tidak manusiawi, bisa menyebabkan siswa berpikir linear dan tidak kreatif.
Fisika dikenal sebagai suatu bidang yang harus dipelajari di sekolah.
Memang disadari kalau Fisika sangat penting bagi kehidupan sehari-hari.
Kemajuan Fisika akan berdampak bagi kemajuan transformasi masyarakat yang juga
berhubungan dengan ekonomi dan sosial suatu bangsa. Namun kenyataannya, belajar
Fisika sebagai sesuatu yang membosankan. karena harus menghapal rumus-rumus
yang panjang sedangkan siswa belum tahu kegunaanya untuk apa.
Memang, kegiatan pembelajaran Fisika beberapa daerah (bahkan beberapa
negara) hanya mengajarkan asumsi-asumsi saja yang akhirnya melahirkan siswa
yang tidak memiliki pemahaman dan pengertian tentang manfaat Fisika bagi
kehidupannya. Siswa hanya menghapal rumus, istilah-istilah tanpa tahu guna dan
aplikasinya di lingkungannya. Ruang belajar pun menjadi sempit karena hanya
terbatas pada ruang kelas. Siswa dicetak mampu mengukur laju kecepatan pesawat,
bahkan mampu memprediksi kapan pesawat tersebut akan jatuh, tapi itu hanya di
dalam ruang kelas, karena ketika melihat pesawat, hilang dan lupa semua rumus
yang pernah dihapalkannya di luar kepala.
Sehingga perlu ada sebuah pembelajaran Fisika berbasis budaya dimana
siswa didorong untuk dapat memecahkan masalah yang ada di lingkungan
sekitarnya, sebagai titik awal proses penciptaan makna.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Budaya
Hasil kajian Alfred Kröber dan Clyde Kluckhohn yang dilaksanakan pada
tahun 1952, seperti tertulis dalam buku ”Culture: A CriticalReview of Concepts
and Definitions“, menunjukkan lebih dari 200 (dua ratus) definisi mengenai
budaya.
Menurut Gertz (1973) budaya adalah suatu sistem atau tatanan tentang
simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat
Menurut Habiebie (2006) Budaya dalam arti yang luas adalah suatu keadaan
akibat perilaku manusia yang secara perorangan atau kelompok Arkeolog R.
Soekmono mengatakan kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik
berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan
Antropolog Koentjaraningrat berpendapat kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Kebudayaan sendiri memiliki tujuh unsur yang bersifat universal
Unsur-unsur tersebut ada dan terdapat di dalam semua kebudayaan dari semua
bangsa di dunia. Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan,
organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian
hidup, sistem religi, dan kesenian.
Kebudayaan memiliki arti penting bagi suatu bangsa. Kebudayaan merupakan
jati diri nasional atau sarana pemersatu. kebudayaan dinilai berperan jika
memiliki hasil budaya yang khas. Hasil budaya bukan hanya milik suatu bangsa,
tapi sudah dianggap milik bersama, yakni masyarakat dunia.
Pada prinsipnya hasil budaya suatu bangsa dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian besar, yakni yang dapat diraba dan tidak dapat diraba. Hasil budaya
yang dapat diraba, misalnya candi, istana, dan berbagai benda yang mempunyai
wujud fisik. Hasil budaya yang tidak dapat diraba teramati oleh penglihatan.
Seni pertunjukan dan adat-istiadat suatu suku bangsa adalah sebagian dari hasil
budaya yang tidak teraba itu.
2.2. Pembelajaran Sebagai Suatu Sistem
Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yang saling berinteraksi untuk
mmencapai suatu tujuan. Komponen sistem Pembelajaran meliputi bahan pelajaran,
metode, alat dan evaluasi. Keseluruhan komponen itu saling berinteraksi dan
berhubungan untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mengetahui kadar pencapaian
suatu tujuan. Oleh karena itu dalam menganalisis sistem pembelajaran dihadapkan
kepada pertanyaan sebagai berikut:
1
Tujuan
apa yang hendak dicapai ?
2
Bahan
pelajaran apa yang dipelajari siswa agar dapat mencapai suatu tujuan ?
3
Metode
mengajar apa yang efektif untuk mengantar siswa mencapai tujuan?
4
Alat
Pelajaran apa yang Relevan untuk membantu proses pencapaian suatu tujuan?
5
Bagaimana
melakukan Evaluasi untuk menilai keberhasilan suatu tujuan?
2.3. Hubungan Fisika Dengan Sosial Budaya
Untuk mempelajari proses pembelajaran Fisika di sekolah, selain memakai
teori psikologi yang berakar pada kontruktivisme individu (personal
constructivism) dan perspektif sosiologi yang bertumpu pada konstruktivisme
sosial (social constructivism), para peneliti dan ahli pendidikan saat ini
mencoba untuk menggunakan kajian teori antropologi (anthropological
perpective). Yang terakhir ini mencoba melihat proses pembelajaran sains
di sekolah pada setting budaya masyarakat sekitar (Maddock, 1981; Cobern dan
Aikenhead, 1998). Menurut perspektif anthropologi, pengajaran sains
dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission) dan pembelajaran
sains sebagai penguasaan budaya (cultural acquisition). Sehingga proses
KBM (kegiatan belajar mengajar) di kelas dapat diibaratkan sebagai proses
pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan murid. Untuk
pembatasan, kata budaya (culture) yang dimaksud di sini adalah suatu sistem
atau tatanan tentang simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu
masyarakat(Gertz, 1973). Berdasar batasan ini, maka sains dapat dianggap
sebagai subbudaya kebudayaan barat, dan sains dari barat (Western science)
merupakan subbudaya dari sains. Oleh karena itu, tradisional sains
(ethnoscience) dari suatu komunitas di negeri non Barat adalah subbudaya dari
kebudayaan komunitas tersebut.
Secara khusus Okebukola (1986) yang dikutip oleh wahyudi menyatakan
bahwa latar belakang budaya siswa mempunyai efek yang lebih besar di dalam
proses pendidikan IPA yang disumbangkan oleh pemberian materi
pelajaran. Dengan kata lain, efek dari proses KBM yang dilakukan di kelas
oleh guru dan siswa ‘kalah’ oleh efek budaya masyarakat yang telah diserap oleh
siswa dan dibawa ke dalam proses KBM di kelas.
Lebih lanjut Eyford (1993) juga menegaskan bahwa latar belakang budaya
siswa mempunyai pengaruh yang kuat pada cara seseorang (siswa) belajar.
Ia memberikan alasannya bahwa siswa telah menghabiskan waktunya, terutama enam
tahun pertama sebelum masuk ke sekolah dasar, di tengah-tengah lingkungan yang
secara total lebih dibentuk/dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya dari pada
oleh teori-teori pendidikan formal. Kemudian dua tahun berikutnya,
Ogunniyi, Jegede, Ogawa, Yandila dan Oladede (1995) menyatakan bahwa latar
belakang budaya yang dibawa oleh guru dan siswa ke dalam kelas sangat
menentukan di dalam penciptaan atau pengkodisian suasana belajar dan mengajar
yang bermakna dan berkonteks.
Pada tahun yang sama, Baker dan Taylor (1995) menyampaikan hasil review
mereka khusus tentang pengaruh kebudayaan pada proses pembelajaran sains di
kelas/sekolah. Dua kesimpulan penting dari review mereka adalah sebagai
berikut. Pertama, kegagalan negara-negara non-Barat dalam rangka
menasionalisasikan kurikulum sains di sekolah-sekolah. Kegagalan tersebut
dikarenakan mereka hanya mengimpor kurikulum sains dari negara-negara Barat
tanpa mempertimbangkan latar belakang kebudayaan yang tumbuh di
negaranya. Secara rinci keduanya menengarai kegagalan proses pembelajaran
sains di sekolah-sekolah negara non-Barat adalah karena ketidaksesuaian
(mismatch) antara budaya yang dimiliki siswa seperti bahasa, kepercayaan, cara
pandang terhadap alam sekitar, dengan ‘kebudayaan’ sains dari Barat yang
terkandung di dalam setiap mata pelajaran sains. Kedua, mereka
menyimpulkan bahwa latar belakang budaya setiap siswa mempengaruhi cara siswa
tersebut dalam mempelajari dan menguasai konsep-konsep sains yang diajarkan di
sekolah. Secara khusus dinyatakan bahwa perasaan dan pemahaman siswa yang
berlandaskan kebudayaan di masyarakatnya ikut serta berperan dalam
menginterpretasikan dan menyerap pengetahuan yang baru (konsep-konsep
sains).
Setahun sebelumnya, Cobern (1994)
menjelaskan pendapatnya secara persuasif bahwa cara seseorang memahami;
hubungan seseorang dengan dunianya (lingkungannya); dan juga cara pandang
seseorang terhadap hubungan sebab akibat, ruang, dan waktu adalah sangat
dipengaruhi oleh asal-usul budayanya. Bisa ditafsirkan di sini dalam
konteks kebudayaan Indonesia yang majemuk, siswa-siswa di pedalaman Kalimantan
mempunyai cara berpikir (way of knowing) yang berbeda dengan siswa-siswa di
kota Banjarmasin, ataupun dengan siswa-siswa di Yogyakarta. Selanjutnya,
Cobern (1994) menegaskan bahwa transfer pengetahuan (proses pembelajaran)
apapun bentuknya, harus mempertimbangkan latar belakang budaya siswa.
Pengaruh latar belakang budaya yang dimiliki siswa terhadap proses
pembelajaran Fisika ada dua macam. Pertama, pengaruh positif akan muncul
jika materi pada pembelajaran Fisika di sekolah yang sedang dipelajari selaras
dengan pengetahuan (budaya) siswa sehari-hari. Pada keadaan ini proses
pembelajaran mendukung cara pandang siswa terhadap alam sekitarnya.
Proses pembelajaran yang seperti ini disebut dengan proses inkulturasi
(enculturation). Sebaliknya, yang kedua, proses pembelajaran Fisika kelas
menjadi ‘pengganggu’ ketika materi pelajaran Fisika tidak selaras dengan latar
belakang budaya yang sudah mengakar pada diri siswa, serta guru berusaha untuk
‘memaksakan’ kebenaran materi pelajaran Fisika (budaya Barat) dengan cara
memarjinalisasikan pengetahuan (budaya) siswa sebelumnya. Proses
pembelajaran seperti ini disebut asimilasi (Cobern dan Aikenhead, 1998;
Aikenhead dan Jegede, 1999). Jika proses pembelajaran inkulturasi
meningkatkan cara pemahaman siswa, sebaliknya proses asimilasi berpotensi
menjadikan siswa untuk mengalami apa yang disebut dengan keterasingan
(alienation) terhadap kebudayaannya sendiri, yang pada gilirannya dapat
menimbulkan ‘gangguan sosial’ dalam kehidupan sehari-hari. Jauh
sebelumnya, Maddock (1983) menemukan bahwa pendidikan Fisika di Papua
Nugini telah menghasilkan efek keterasingan pada siswa-siswa sekolahnya, yang
telah ‘memisahkan’ mereka dengan kebudayaan tradisional masyarakatnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa semakin tinggi pendidikan formal seseorang
(di Papua Nugini), semakin besar efek keterasingan yang dialami.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Larson sebagaimana dikutip oleh
Aikenhead dan Jegede (1999) memberikan informasi lain yang berguna. Ia
menemukan bahwa meskipun boleh jadi proses pembelajaran asimilasi tidak
menjadikan siswa terasing dari budayanya, namun tetap saja akan mengasingkan
siswa dari Sains. Keadaan tersebut membawa mereka untuk kreatif dengan
menciptakan cara ‘cerdas’ yang semu dalam mempelajari fisika (tepatnya
menghafal konsep-konsep Fisika) seperti apa yang disebut dengan ‘Aturan Fatimah’
(Fatima’s Rule).
2.4. Penerapan Fisika Dalam Sosial Budaya
Dalam pengintegrasian nilai budaya .dalam pembelajaran Fisika Guru harus
memperhatikan Saran George. George (1991) menyarankan kepada para guru untuk
memperhatikan empat hal selama membawakan proses KBM sebagai berikut.
(1)
memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya, untuk
mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki siswa, yang berakar
pada sains tradisional.
(2)
Menyajikan
kepada siswa contoh-contoh keganjilan atau ‘keajaiban’ (discrepant events) yang
sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep baku sains.
(3)
Mendorong
siswa untuk aktif bertanya.
(4)
Mendorong
siswa untuk membuat serangkaian skema-skema tentang konsep yang dikembangkan
selama proses KBM.
Berkenaan dengan saran-saran tersebut, George (1991) lebih lanjut
meminta kepada guru untuk memandang pendidikan sebagai wahana pemberdayaan
siswa dalam usahanya menguasai konsep-konsep, bukan sebagai penggantian
pengalaman atau penggusuran konsep-konsep (sains tradisional) yang sudah
tertanam pada diri siswa dengan konsep-konsep dominasi sains Barat.
Akhirnya pembelajaran Fisika berbasis budaya mensyaratkan adanya
perubahan tradisi pembelajaran yang semula hanya dilakukan dengan satu metode
saja yaitu DECAPA (Dengar, Catatat, Hapal) menjadi tradisi mengeksplorasi
berbagai sumber belajar dalam suatu komunitas budaya.
Misalnya belajar Fisika sambil memasak, belajar Fisika dengan
menggunakan metode permainan anak-anak, atau mungkin dengan Seni dan
musik Tradisional. Bergantung dengan konteks dan keberagaman sumber
belajar yang ada.
Contoh Budaya Daerah Yang dapat dijadikan Pembelajaran Fisika
a. Calung (Mempelajari konsep Bunyi)
b. Permainan Beklen ( Mempelajari Konsep
Energi, gerak)
c. Permainan Ketepel (Konsep Energi)
d. Permainan Layang-layang (konsep
aerodinamika)
e. Permainan Kelerang (momentum)
f. Kecapi Suling (bunyi)
g. Batok Ngisang (kesetimbangan)
h. Gatrik (gerak)
Proses evaluasi pembelajarannya. konsep penilaian hasil belajar
pembelajaran Fisika berdasarkan budaya adalah multiple representations yang
berarti hasil belajar siswa dinilai melalui beragam teknik dan alat ukur, siswa
pun mengekspresikan keberhasilannya dalam berbagai bentuk. Misalnya, banyak
siswa yang takut menghadapi tes, tetapi sangat baik dalam mengarang atau
menulis prosa, atau bahkan dalam menggambar kartun/komik.
Siswa diberi kebebasan dalam mengekspresikan hasil kegiatan belajarnya
tersebut. Sebelumnya guru memang harus mengetahui titik awal ketika belajar dan
titik akhir belajar (sehingga perlu adanya pre-test dan post-test) setiap siswa
per individu.
Sementara itu, upaya siswa menunjukkan keberhasilannya dalam proses
penciptaan makna tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara wujud media.
Misalnya dengan poster, puisi, lukisan, komik strip, catatan harian, laporan
ilmiah penelitian pribadi, ukiran, patung, dan lain-lain.
Penilaian selain dilakukan oleh siswa sendiri (self assessed), juga oleh
siswa yang lain (peer) serta guru dengan berdasarkan beberapa kriteria yang
ditentukan oleh guru. Misalnya penilaian berdasarkan pemahaman konsep
(knowledge aquisition) Fisika, pencapaian dalam keterampilan (nurturant effect)
serta penilaian artistik dari tiap karya (artistic assessement). Guru bersama
dengan siswa dapat menetapkan kesepakatan dan kriteria yang dapat digunakan
untuk menilai ragam perwujudan hasil belajar siswa.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah ini dapat
disimpulkan bahwa antara manusia dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan, sesuatu yang kompleks, rumit, rawet.
Satu sama lain saling terkait, saling
mempengaruhi karena manusia adalah pencipta dan sekaligus pengguna kebudayaan
selagi manusia itu ada maka kebudayaanpun ada.
0 comments:
Post a Comment