Sunday, 26 April 2015

Makalah Fisika

FISIKA DALAM SOSIAL BUDAYA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sistem pembelajaran panggung pentas (delivery system) menjadi sistem pembelajaran yang biasa digunakan Guru dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) Fisika. Pada sistem pembelajaran ini Guru berdiri di depan siswa untuk menyampaikan pengetahuan, sementara siswa menerimanya tanpa harus mengetahui prosesnya. Siswa dipaksa menerima ilmu, bukan memahami budaya ilmu, sehingga kehilangan orientasi hidupnya karena mereka tidak dituntun membaca fenomena sekelilingnya .
Sebagai akibat pendekatan pembelajaran yang cenderung linear indoktrinatif, siswa bukan cuma menjauh tetapi juga tidak mampu menghadapi kehidupan nyata, gagap terhadap masalahnya sendiri, apalagi dengan lingkungan dan masyarakatnya. Dalam pandangan lainnya pendidikan sekarang ini cenderung hanya mencecar otak kiri saja, kurang membangun individu belajar, serta tidak menumbuhkan kemandirian.
Analisa, demikian tentu bukan tanpa fakta, sebab dalam praktiknya masih ditemukan suasana proses belajar mengajar yang membenarkan sinyalemen di atas. Yang paling menonjol adalah tradisi belajar hanya mengandalkan siswa sebagai "penghapal ilmu" bukan "pemaham ilmu" serta sarat kegiatan "drill" (latihan soal) dengan maksud mengejar nilai rapor atau nilai ujian yang tinggi. Padahal menurut Ausuble, pendidikan hapalan dan drill adalah pendidikan yang tidak bermakna. Pendidikan cara ini sangat membelenggu siswa dan tidak manusiawi, bisa menyebabkan siswa berpikir linear dan tidak kreatif.
Fisika dikenal sebagai suatu bidang yang harus dipelajari di sekolah. Memang disadari kalau Fisika sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Kemajuan Fisika akan berdampak bagi kemajuan transformasi masyarakat yang juga berhubungan dengan ekonomi dan sosial suatu bangsa. Namun kenyataannya, belajar Fisika sebagai sesuatu yang membosankan. karena harus menghapal rumus-rumus yang panjang sedangkan siswa belum tahu kegunaanya untuk apa.
Memang, kegiatan pembelajaran Fisika beberapa daerah (bahkan beberapa negara) hanya mengajarkan asumsi-asumsi saja yang akhirnya melahirkan siswa yang tidak memiliki pemahaman dan pengertian tentang manfaat Fisika bagi kehidupannya. Siswa hanya menghapal rumus, istilah-istilah tanpa tahu guna dan aplikasinya di lingkungannya. Ruang belajar pun menjadi sempit karena hanya terbatas pada ruang kelas. Siswa dicetak mampu mengukur laju kecepatan pesawat, bahkan mampu memprediksi kapan pesawat tersebut akan jatuh, tapi itu hanya di dalam ruang kelas, karena ketika melihat pesawat, hilang dan lupa semua rumus yang pernah dihapalkannya di luar kepala.
Sehingga perlu ada sebuah pembelajaran Fisika berbasis budaya dimana siswa didorong untuk dapat memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitarnya, sebagai titik awal proses penciptaan makna.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Budaya
Hasil kajian Alfred Kröber dan Clyde Kluckhohn yang dilaksanakan pada tahun 1952, seperti tertulis dalam buku ”Culture: A CriticalReview of Concepts and Definitions“, menunjukkan lebih dari 200 (dua ratus) definisi mengenai budaya.
Menurut Gertz (1973) budaya adalah suatu sistem atau tatanan tentang simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat
Menurut Habiebie (2006) Budaya dalam arti yang luas adalah suatu keadaan akibat perilaku manusia yang secara perorangan atau kelompok Arkeolog R.
Soekmono mengatakan kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan
Antropolog Koentjaraningrat berpendapat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Kebudayaan sendiri memiliki tujuh unsur yang bersifat universal Unsur-unsur tersebut ada dan terdapat di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian.
Kebudayaan memiliki arti penting bagi suatu bangsa. Kebudayaan merupakan jati diri nasional atau sarana pemersatu. kebudayaan dinilai berperan jika memiliki hasil budaya yang khas. Hasil budaya bukan hanya milik suatu bangsa, tapi sudah dianggap milik bersama, yakni masyarakat dunia.
Pada prinsipnya hasil budaya suatu bangsa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yakni yang dapat diraba dan tidak dapat diraba. Hasil budaya yang dapat diraba, misalnya candi, istana, dan berbagai benda yang mempunyai wujud fisik. Hasil budaya yang tidak dapat diraba teramati oleh penglihatan. Seni pertunjukan dan adat-istiadat suatu suku bangsa adalah sebagian dari hasil budaya yang tidak teraba itu.

2.2. Pembelajaran Sebagai Suatu Sistem
Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yang saling berinteraksi untuk mmencapai suatu tujuan. Komponen sistem Pembelajaran meliputi bahan pelajaran, metode, alat dan evaluasi. Keseluruhan komponen itu saling berinteraksi dan berhubungan untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mengetahui kadar pencapaian suatu tujuan. Oleh karena itu dalam menganalisis sistem pembelajaran dihadapkan kepada pertanyaan sebagai berikut:
1          Tujuan apa yang hendak dicapai ?
2          Bahan pelajaran apa yang dipelajari siswa agar dapat mencapai suatu tujuan ?
3          Metode mengajar apa yang efektif untuk mengantar siswa mencapai tujuan?
4          Alat Pelajaran apa yang Relevan untuk membantu proses pencapaian suatu tujuan?
5          Bagaimana melakukan Evaluasi untuk menilai keberhasilan suatu tujuan?

2.3. Hubungan Fisika Dengan Sosial Budaya
Untuk mempelajari proses pembelajaran Fisika di sekolah, selain memakai teori psikologi yang berakar pada kontruktivisme individu (personal constructivism) dan perspektif sosiologi yang bertumpu pada konstruktivisme sosial (social constructivism), para peneliti dan ahli pendidikan saat ini mencoba untuk menggunakan kajian teori antropologi (anthropological perpective).  Yang terakhir ini mencoba melihat proses pembelajaran sains di sekolah pada setting budaya masyarakat sekitar (Maddock, 1981; Cobern dan Aikenhead, 1998).  Menurut perspektif anthropologi, pengajaran sains dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission) dan pembelajaran sains sebagai penguasaan budaya (cultural acquisition).  Sehingga proses KBM (kegiatan belajar mengajar) di kelas dapat diibaratkan sebagai proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan  murid.  Untuk pembatasan, kata budaya (culture) yang dimaksud di sini adalah suatu sistem atau tatanan tentang simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat(Gertz, 1973).  Berdasar batasan ini, maka sains dapat dianggap sebagai subbudaya kebudayaan barat, dan sains dari barat (Western science) merupakan subbudaya dari sains.  Oleh karena itu, tradisional sains (ethnoscience) dari suatu komunitas di negeri non Barat adalah subbudaya dari kebudayaan komunitas tersebut.
Secara khusus Okebukola (1986) yang dikutip oleh wahyudi menyatakan bahwa latar belakang budaya siswa mempunyai efek yang lebih besar di dalam proses pendidikan IPA yang disumbangkan oleh pemberian materi pelajaran.  Dengan kata lain, efek dari proses KBM yang dilakukan di kelas oleh guru dan siswa ‘kalah’ oleh efek budaya masyarakat yang telah diserap oleh siswa dan dibawa ke dalam proses KBM di kelas.   
Lebih lanjut Eyford (1993) juga menegaskan bahwa latar belakang budaya siswa mempunyai pengaruh yang kuat pada cara seseorang (siswa) belajar.  Ia memberikan alasannya bahwa siswa telah menghabiskan waktunya, terutama enam tahun pertama sebelum masuk ke sekolah dasar, di tengah-tengah lingkungan yang secara total lebih dibentuk/dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya dari pada oleh teori-teori pendidikan formal.  Kemudian dua tahun berikutnya, Ogunniyi, Jegede, Ogawa, Yandila dan Oladede (1995) menyatakan bahwa latar belakang budaya yang dibawa oleh guru dan siswa ke dalam kelas sangat menentukan di dalam penciptaan atau pengkodisian suasana belajar dan mengajar yang bermakna dan berkonteks.   
Pada tahun yang sama, Baker dan Taylor (1995) menyampaikan hasil review mereka khusus tentang pengaruh kebudayaan pada proses pembelajaran sains di kelas/sekolah.  Dua kesimpulan penting dari review mereka adalah sebagai berikut. Pertama, kegagalan negara-negara non-Barat dalam rangka menasionalisasikan kurikulum sains di sekolah-sekolah.  Kegagalan tersebut dikarenakan mereka hanya mengimpor kurikulum sains dari negara-negara Barat tanpa mempertimbangkan latar belakang kebudayaan yang tumbuh di negaranya.  Secara rinci keduanya menengarai kegagalan proses pembelajaran sains di sekolah-sekolah negara non-Barat adalah karena ketidaksesuaian (mismatch) antara budaya yang dimiliki siswa seperti bahasa, kepercayaan, cara pandang terhadap alam sekitar, dengan ‘kebudayaan’ sains dari Barat yang terkandung di dalam setiap mata pelajaran sains.  Kedua, mereka menyimpulkan bahwa latar belakang budaya setiap siswa mempengaruhi cara siswa tersebut dalam mempelajari dan menguasai konsep-konsep sains yang diajarkan di sekolah.  Secara khusus dinyatakan bahwa perasaan dan pemahaman siswa yang berlandaskan kebudayaan di masyarakatnya ikut serta berperan dalam menginterpretasikan dan menyerap pengetahuan yang baru (konsep-konsep sains). 
 Setahun sebelumnya, Cobern (1994) menjelaskan pendapatnya secara persuasif bahwa cara seseorang memahami; hubungan seseorang dengan dunianya (lingkungannya); dan juga cara pandang seseorang terhadap hubungan sebab akibat, ruang, dan waktu  adalah sangat dipengaruhi oleh asal-usul budayanya.  Bisa ditafsirkan di sini dalam konteks kebudayaan Indonesia yang majemuk, siswa-siswa di pedalaman Kalimantan mempunyai cara berpikir (way of knowing) yang berbeda dengan siswa-siswa di kota Banjarmasin, ataupun dengan siswa-siswa di Yogyakarta.  Selanjutnya, Cobern (1994) menegaskan bahwa transfer pengetahuan (proses pembelajaran) apapun bentuknya, harus mempertimbangkan latar belakang budaya siswa.
Pengaruh latar belakang budaya yang dimiliki siswa terhadap proses pembelajaran Fisika ada dua macam.  Pertama, pengaruh positif akan muncul jika materi pada pembelajaran Fisika di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan pengetahuan (budaya) siswa sehari-hari.  Pada keadaan ini proses pembelajaran mendukung cara pandang siswa terhadap alam sekitarnya.  Proses pembelajaran yang seperti ini disebut dengan proses inkulturasi (enculturation).  Sebaliknya, yang kedua, proses pembelajaran Fisika kelas menjadi ‘pengganggu’ ketika materi pelajaran Fisika tidak selaras dengan latar belakang budaya yang sudah mengakar pada diri siswa, serta guru berusaha untuk ‘memaksakan’ kebenaran materi pelajaran Fisika (budaya Barat) dengan cara memarjinalisasikan pengetahuan (budaya) siswa sebelumnya.  Proses pembelajaran seperti ini disebut asimilasi (Cobern dan Aikenhead, 1998; Aikenhead dan Jegede, 1999).  Jika proses pembelajaran inkulturasi meningkatkan cara pemahaman siswa, sebaliknya proses asimilasi berpotensi menjadikan siswa untuk mengalami apa yang disebut dengan keterasingan (alienation) terhadap kebudayaannya sendiri, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ‘gangguan sosial’ dalam kehidupan sehari-hari.  Jauh sebelumnya, Maddock (1983)  menemukan bahwa pendidikan Fisika di Papua Nugini telah menghasilkan efek keterasingan pada siswa-siswa sekolahnya, yang telah ‘memisahkan’ mereka dengan kebudayaan tradisional masyarakatnya.  Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa semakin tinggi pendidikan formal seseorang (di Papua Nugini), semakin besar efek keterasingan yang dialami. 
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Larson sebagaimana dikutip oleh Aikenhead dan Jegede (1999) memberikan informasi lain yang berguna.  Ia menemukan bahwa meskipun boleh jadi  proses pembelajaran asimilasi tidak menjadikan siswa terasing dari budayanya, namun tetap saja akan mengasingkan siswa dari Sains.  Keadaan tersebut membawa mereka untuk kreatif dengan menciptakan cara ‘cerdas’ yang semu dalam mempelajari fisika (tepatnya menghafal konsep-konsep Fisika) seperti apa yang disebut dengan ‘Aturan Fatimah’ (Fatima’s Rule). 

2.4. Penerapan Fisika Dalam Sosial Budaya
Dalam pengintegrasian nilai budaya .dalam pembelajaran Fisika Guru harus memperhatikan Saran George. George (1991) menyarankan kepada para guru untuk memperhatikan empat hal selama membawakan proses KBM sebagai berikut.
(1)     memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya, untuk mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki siswa, yang berakar pada sains tradisional.
(2)     Menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan atau ‘keajaiban’ (discrepant events) yang sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep baku sains.
(3)     Mendorong siswa untuk aktif bertanya.
(4)     Mendorong siswa untuk membuat serangkaian skema-skema tentang konsep yang dikembangkan selama proses KBM. 
Berkenaan dengan saran-saran tersebut, George (1991) lebih lanjut meminta kepada guru untuk memandang pendidikan sebagai wahana pemberdayaan siswa dalam usahanya menguasai konsep-konsep, bukan sebagai penggantian pengalaman atau penggusuran konsep-konsep (sains tradisional) yang sudah tertanam pada diri siswa dengan konsep-konsep dominasi sains Barat. 
Akhirnya pembelajaran Fisika berbasis budaya mensyaratkan adanya perubahan tradisi pembelajaran yang semula hanya dilakukan dengan satu metode saja yaitu DECAPA (Dengar, Catatat, Hapal) menjadi tradisi mengeksplorasi berbagai sumber belajar dalam suatu komunitas budaya.
Misalnya belajar Fisika sambil memasak, belajar Fisika dengan menggunakan metode permainan anak-anak, atau mungkin dengan  Seni dan  musik Tradisional. Bergantung dengan konteks dan keberagaman sumber belajar yang ada.  
Contoh Budaya Daerah Yang dapat dijadikan Pembelajaran Fisika
a.       Calung (Mempelajari konsep Bunyi)
b.      Permainan Beklen ( Mempelajari Konsep Energi, gerak)
c.       Permainan Ketepel (Konsep Energi)
d.      Permainan Layang-layang (konsep aerodinamika)
e.       Permainan Kelerang (momentum)
f.       Kecapi Suling (bunyi)
g.      Batok Ngisang (kesetimbangan)
h.      Gatrik  (gerak)  

2.5. Evaluasi Pembelajaran Fisika Berbasis Budaya
Proses evaluasi pembelajarannya. konsep penilaian hasil belajar pembelajaran Fisika berdasarkan budaya adalah multiple representations yang berarti hasil belajar siswa dinilai melalui beragam teknik dan alat ukur, siswa pun mengekspresikan keberhasilannya dalam berbagai bentuk. Misalnya, banyak siswa yang takut menghadapi tes, tetapi sangat baik dalam mengarang atau menulis prosa, atau bahkan dalam menggambar kartun/komik.
Siswa diberi kebebasan dalam mengekspresikan hasil kegiatan belajarnya tersebut. Sebelumnya guru memang harus mengetahui titik awal ketika belajar dan titik akhir belajar (sehingga perlu adanya pre-test dan post-test) setiap siswa per individu.
Sementara itu, upaya siswa menunjukkan keberhasilannya dalam proses penciptaan makna tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara wujud media. Misalnya dengan poster, puisi, lukisan, komik strip, catatan harian, laporan ilmiah penelitian pribadi, ukiran, patung, dan lain-lain.
Penilaian selain dilakukan oleh siswa sendiri (self assessed), juga oleh siswa yang lain (peer) serta guru dengan berdasarkan beberapa kriteria yang ditentukan oleh guru. Misalnya penilaian berdasarkan pemahaman konsep (knowledge aquisition) Fisika, pencapaian dalam keterampilan (nurturant effect) serta penilaian artistik dari tiap karya (artistic assessement). Guru bersama dengan siswa dapat menetapkan kesepakatan dan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai ragam perwujudan hasil belajar siswa. 
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa antara manusia dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, sesuatu yang kompleks, rumit, rawet.

Satu sama lain saling terkait, saling mempengaruhi karena manusia adalah pencipta dan sekaligus pengguna kebudayaan selagi manusia itu ada maka kebudayaanpun ada.

0 comments:

Post a Comment