Monday, 11 May 2015

Makalah Kanduri Apam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kue Apem,salah satunya,,yaitu sejenis kue basah yang terbuat dari tepung beras dan berbentuk lebarseperti payung.Dari salah satu blog  yang saya baca,,ada yang menyebutkan asal muasal kata “apem”.
Menurut sejarah, suatu hari di bulan safar, ki Ageng Gribig yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya kembali dari perjalanannya ke tanah suci. Ia membawa oleh-oleh 3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tidak memadai. Maka bersama sang istri iapun mencoba membuat kue yang sejenis. Setelah jadi, kue-kue ini kemudian disebarkan kepada penduduk setempat. Pada penduduk yang berebutan mendapatkannya ki Ageng Gribig meneriakkan kata “yaqowiyu” yang artinya “Tuhan berilah kekuatan”
Makanan ini  kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai kue apem, yakni berasal dari saduran bahasa arab “affan” yang bermakna ampunan. Tujuannya adalah agar masyarakat juga terdorong selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Lambat laun kebiasaan ‘membagi-bagikan’ kue apem ini berlanjut pada acara-acara selamatan menjelang Ramadhan. Harapannya, semoga Allah berkenan membukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya kepada umat muslim yang hendak menjalankan ibadah puasa. Dengan begitu umat muslim yang menjalankan ibadah puasa berharap dapat menjalankannya dengan lapang dada dan tenang juga.
Dari salah satu buku yang pernah saya baca,, bentuk apem yang seperti payung itu juga mempunyai makna tersendiri.Diharapkan si pemakan apem kelak diakhirat nanti akan dipayungi sehingga tidak kepanasan.

1.2  Rumusan Masalah
Bagaimanakah yang dimaksud dengan kanduri apam?

1.3  Tujuan
Memahami bagaimana yang dimaksud dengan kanduri apam.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asal Usul Kanduri Apam
Berdasarkan literatur dan wawancara dengan informan, pelaksanaan kenduri (hajatan) apam dilaksanakan pada bulan Rajab, terutama pada malam 27 rajab yang diperingati sebagai perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Pada malam hari masyarakat berkumpul di meunasah, mesjid atau di rumah-rumah untuk mendengarkan riwayat Isra’ Mi’raj yang disampaikan dalam bentuk syair prosa. Mengenai latar belakang pelaksanaan  kenduri apam dikemukakan oleh seorang informan sbb:
Dasar dilaksanakan kenduri apam pada mulanya ditunjukkan kepada orang laki-laki yang tidak sembahyang jumat di mesjid 3 kali berturut-turut sebagai dendanya diperintahkan membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan akan dikenduri (dimakan bersama) sebagai sedekah. Dengan seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang bersangkutan sering meninggalkan kewajiban salat jumat.
Selanjutnya Hurgronje (1985:250) mengemukakan pula versi yang berbeda mengenani latar belakang pelaksanaan kenduri apam ini .
Menurut kisah pernah ada seorang aceh yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat-malaikat kubur munkar Nakir dan hukuman-hukuman yang mereka jatuhkan, ia berpura-pura mati dan dikuburkan hidup-hidup. Segera ia diperiksa oleh malaikat mengenai agama dan amalnya, karena banyak kekurangan maka orang tersebut dipukul dengan pentungan besi. Tetapi pukulan tersebut tidak dapat mengenainya, sebab ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas dalam kegelapan dan mempunyai bentuk seperti bulan seolah-olah melindunginya dari pukulan. Ia berhasil keluar dari tempatnya yang sempit (kuburan) dan segera menemui anggota keluarganya dan terkejut melihatnya kembali. Ketika pengalaman ini diceritakan, diketahuilah bahwa yang menolongnya sewaktu dipukul di kubur bulat seperti bulan adalah kue apam yang sedang dibuat oleh keluarganya.
Di setiap rumah orang membuat kue apam (serabi) dari bahan tepung beras dan santan, berbentuk bulat dan dibawa sebagai kenduri ke mesjid dan meunasah. Sampai 100 kue apam ditumpuk diatas pinggan disertai sebauh mangkok seurawa (saus) yang terdiri dari santan, gula , dan telur dikocok.
Kue apam memiliki pengaruh baik terhadap nasib mereka yang meninggal. Sebab itu dapat dikatakan bahwa asal mualanya orang aceh membuat kue apam dan membaginya sebagai kenduri dalam bulan ke 7 dari tahun Hijrah, demi leluhur dan anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Selain itu kenduri apam juga dilaksankan dirumah pada hari ke 7 sesudah orang meninggal, juga kalau terjadi gempa bumi, karena gempa itu akan mengocok sisa-sisa mayat.
Uraian sebelumnya menerangkan bahwa untuk menghubungkan manusia dengan alam sekeliling mereka di luar rasionalitas yang dimiliki memerlukan unsur-unsur tertentu sebagai mediator. Pada kenduri apam mediatornya adalah kue apam yang disimbolkan dapat membuat seseorang terhindar dari hukuman atau denda, sekaligus sebagai sedekah kepada orang banyak. Simbol-simbol ini dapat menjadi benang penghubung antara manusia dengan kenyataan-kenyataan yang ada di luar dirinya. Geertz dalam Suparlan (1981:18) menyatakan,
Dalam upacara simbol berperan sebagai alat penghubung antara sesama manusia dan antara manusia dengan benda, dan juga sebagai alat penghubung antara dunia yang nyata dengan dunia yang gaib. Hal-hal atau unsur yang gaib berasal dari dunia gaib menjadi Nampak nyata dalam arena upacara berkat peranan dari berbagai symbol (baik yang suci maupaun yang biasa)..”
Dewasa ini kenduri apam telah jarang dilakukan oleh masyarakat aceh. Kalaupun dilakukan tidak lagi besar2 dan sederhana. Selain itu alasan dilakukannya kenduri apam ini berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya di wilayah NAD.

2.2 Kanduri Apam
Khanduri Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender Hijriah. Buleun artinya bulan dan Apam adalah sejenis makanan yang mirip serabi.
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh untuk mengadakan Khanduri Apam pada buleun Apam. Tradisi ini paling populer di kabupaten Pidie sehingga dikenal dengan sebutan Apam Pidie. Selain di Pidie, tradisi ini juga dikenal di Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lain di Provinsi Aceh.
Kegiatan toet apam (memasak apam) dilakukan oleh kaum ibu di desa. Biasanya dilakukan sendirian atau berkelompok. Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak apam adalah top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung tersebut lalu dicampur santan kelapa dalam sebuah beulangong raya (periuk besar). Campuran ini direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak menjadi lembut. Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair. Cairan tepung inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk dituangkan ke wadah memasaknya, yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan tanah).
Dulu, Apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun kelapa kering). Malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on ‘ue tho ini. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlubang-lubang sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata (tidak bopeng).
Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan santan dicampur pisang klat barat (sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula. Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang memakan Apam saja (seunge Apam), yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb. Selain dimakan langsung, dapat juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian disebut Apam Leu’eop. Setelah semua kuahnya habis dihisap barulah Apam itu dimakan.
Apam yang telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam juga diantar ke Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam (bulan Rajab) sebulan penuh.

2.3 Sejarah Khanduri Apam
Tradisi Khanduri Apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan / menyedihkan hati itu, ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.
Selain pada buleuen Apam (bulan Rajab), kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian. Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran kelapa yang diberi gula (di lhok ngon u).
Khanduri Apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat, seperti gempa tsunami, hari Minggu, 26 Desember 2004. Tujuannya adalah sebagai upacara Tepung Tawar (peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal. Akibat gempa besar, boleh jadi si mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya. Sebagai turut berduka-cita atas keadaan itu, disamping memohon rahmat bagi orang yang telah meninggal tersebut, maka diadakanlah khanduri Apam tersebut.
Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa latar belakang pelaksanaan kenduri apam pada mulanya ditujukan kepada laki-laki yang tidak shalat Jum’at ke mesjid tiga kali berturut-turut, sebagai dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk dianta   r ke mesjid dan dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan semakin seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat Jum’at.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan literatur dan wawancara dengan informan, pelaksanaan kenduri (hajatan) apam dilaksanakan pada bulan Rajab, terutama pada malam 27 rajab yang diperingati sebagai perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Pada malam hari masyarakat berkumpul di meunasah, mesjid atau di rumah-rumah untuk mendengarkan riwayat Isra’ Mi’raj yang disampaikan dalam bentuk syair prosa.
Khanduri Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam Kalender Hijriah. Buleun artinya bulan dan Apam adalah sejenis makanan yang mirip serabi.

DAFTAR PUSTAKA

http://saweugampoeng.blogspot.com/2011/08/kanduri-apam.html

Rusdi sufi dkk. 2002. Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Dinas kebudayaan provinsi NAD.


0 comments:

Post a Comment