BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kue
Apem,salah satunya,,yaitu sejenis kue basah yang terbuat dari tepung beras dan
berbentuk lebarseperti payung.Dari salah satu blog yang saya baca,,ada
yang menyebutkan asal muasal kata “apem”.
Menurut
sejarah, suatu hari di bulan safar, ki Ageng Gribig yang merupakan keturunan
Prabu Brawijaya kembali dari perjalanannya ke tanah suci. Ia membawa oleh-oleh
3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk,
jumlahnya tidak memadai. Maka bersama
sang istri iapun mencoba membuat kue yang sejenis. Setelah jadi, kue-kue ini
kemudian disebarkan kepada penduduk setempat. Pada penduduk yang berebutan
mendapatkannya ki Ageng Gribig meneriakkan kata “yaqowiyu” yang artinya “Tuhan
berilah kekuatan”
Makanan ini kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai kue apem, yakni
berasal dari saduran bahasa arab “affan” yang bermakna ampunan. Tujuannya
adalah agar masyarakat juga terdorong selalu memohon ampunan kepada Sang
Pencipta. Lambat laun kebiasaan ‘membagi-bagikan’ kue apem ini berlanjut pada
acara-acara selamatan menjelang Ramadhan. Harapannya, semoga Allah berkenan
membukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya kepada umat muslim yang hendak
menjalankan ibadah puasa. Dengan begitu umat muslim yang menjalankan ibadah puasa
berharap dapat menjalankannya dengan lapang dada dan tenang juga.
Dari salah
satu buku yang pernah saya baca,, bentuk apem yang seperti payung itu juga
mempunyai makna tersendiri.Diharapkan si pemakan apem kelak diakhirat nanti
akan dipayungi sehingga tidak kepanasan.
1.2
Rumusan
Masalah
Bagaimanakah
yang dimaksud dengan kanduri apam?
1.3
Tujuan
Memahami bagaimana
yang dimaksud dengan kanduri apam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Kanduri Apam
Berdasarkan literatur dan
wawancara dengan informan, pelaksanaan kenduri (hajatan) apam dilaksanakan pada
bulan Rajab, terutama pada malam 27 rajab yang diperingati sebagai perjalanan
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Pada malam hari masyarakat berkumpul di
meunasah, mesjid atau di rumah-rumah untuk mendengarkan riwayat Isra’ Mi’raj
yang disampaikan dalam bentuk syair prosa. Mengenai latar belakang
pelaksanaan kenduri apam dikemukakan oleh seorang informan sbb:
Dasar dilaksanakan kenduri
apam pada mulanya ditunjukkan
kepada orang laki-laki yang tidak sembahyang jumat di mesjid 3 kali
berturut-turut sebagai dendanya diperintahkan membuat kue apam sebanyak 100
buah untuk diantar ke mesjid dan akan dikenduri (dimakan bersama) sebagai
sedekah. Dengan seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa
malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang bersangkutan sering
meninggalkan kewajiban salat jumat.
Selanjutnya Hurgronje
(1985:250) mengemukakan pula
versi yang berbeda mengenani latar belakang pelaksanaan kenduri apam ini .
Menurut kisah pernah ada
seorang aceh yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama tentang
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat-malaikat kubur munkar Nakir
dan hukuman-hukuman yang mereka jatuhkan, ia berpura-pura mati dan dikuburkan
hidup-hidup. Segera ia diperiksa oleh malaikat mengenai agama dan amalnya,
karena banyak kekurangan maka orang tersebut dipukul dengan pentungan besi.
Tetapi pukulan tersebut tidak dapat mengenainya, sebab ada sesuatu yang tidak
dapat dilihatnya dengan jelas dalam kegelapan dan mempunyai bentuk seperti
bulan seolah-olah melindunginya dari pukulan. Ia berhasil keluar dari tempatnya
yang sempit (kuburan) dan segera menemui anggota keluarganya dan terkejut
melihatnya kembali. Ketika pengalaman ini diceritakan, diketahuilah bahwa yang
menolongnya sewaktu dipukul di kubur bulat seperti bulan adalah kue apam yang
sedang dibuat oleh keluarganya.
Di setiap rumah orang membuat
kue apam (serabi) dari bahan tepung beras dan santan, berbentuk bulat dan
dibawa sebagai kenduri ke mesjid dan meunasah. Sampai 100 kue apam ditumpuk
diatas pinggan disertai sebauh mangkok seurawa (saus) yang terdiri dari santan,
gula , dan telur dikocok.
Kue apam memiliki pengaruh
baik terhadap nasib mereka yang meninggal. Sebab itu dapat dikatakan bahwa asal
mualanya orang aceh membuat kue apam dan membaginya sebagai kenduri dalam bulan
ke 7 dari tahun Hijrah, demi leluhur dan anggota keluarga mereka yang sudah
meninggal. Selain itu kenduri apam juga dilaksankan dirumah pada hari ke 7
sesudah orang meninggal, juga kalau terjadi gempa bumi, karena gempa itu akan
mengocok sisa-sisa mayat.
Uraian sebelumnya menerangkan
bahwa untuk menghubungkan manusia dengan alam sekeliling mereka di luar
rasionalitas yang dimiliki memerlukan unsur-unsur tertentu sebagai mediator. Pada
kenduri apam mediatornya adalah kue apam yang disimbolkan dapat membuat
seseorang terhindar dari hukuman atau denda, sekaligus sebagai sedekah kepada
orang banyak. Simbol-simbol ini dapat menjadi benang penghubung antara manusia
dengan kenyataan-kenyataan yang ada di luar dirinya. Geertz dalam Suparlan
(1981:18) menyatakan,
Dalam upacara simbol berperan
sebagai alat penghubung antara sesama manusia dan antara manusia dengan benda,
dan juga sebagai alat penghubung antara dunia yang nyata dengan dunia yang
gaib. Hal-hal atau unsur yang gaib berasal dari dunia gaib menjadi Nampak nyata
dalam arena upacara berkat peranan dari berbagai symbol (baik yang suci maupaun
yang biasa)..”
Dewasa ini kenduri apam telah jarang dilakukan
oleh masyarakat aceh. Kalaupun dilakukan tidak lagi besar2 dan sederhana.
Selain itu alasan dilakukannya kenduri apam ini berbeda antara satu daerah
dengan daerah lainnya di wilayah NAD.
2.2 Kanduri Apam
Khanduri
Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada
bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu
dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam
Kalender Hijriah. Buleun artinya bulan dan Apam adalah sejenis makanan yang
mirip serabi.
Sudah
menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh untuk mengadakan Khanduri Apam pada buleun
Apam. Tradisi ini paling populer di kabupaten Pidie sehingga dikenal dengan
sebutan Apam Pidie. Selain di Pidie, tradisi ini juga dikenal di Aceh Utara,
Aceh Besar dan beberapa kabupaten lain di Provinsi Aceh.
Kegiatan
toet apam (memasak apam) dilakukan oleh kaum ibu di desa. Biasanya dilakukan
sendirian atau berkelompok. Pertama sekali yang harus dilakukan untuk memasak
apam adalah top teupong breuh bit (menumbuk tepung dari beras nasi). Tepung
tersebut lalu dicampur santan kelapa dalam sebuah beulangong raya (periuk
besar). Campuran ini direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak
menjadi lembut. Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga
menjadi cair. Cairan tepung inilah yang diambil dengan aweuek/iros untuk
dituangkan ke wadah memasaknya, yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (pinggan
tanah).
Dulu, Apam
tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun
kelapa kering). Malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain
dengan on ‘ue tho ini. Masakan Apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya
berlubang-lubang sedang bagian belakangnya tidak hitam dan rata (tidak bopeng).
Apam paling
sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang disebut kuah tuhe, berupa masakan
santan dicampur pisang klat barat (sejenis pisang raja) atau nangka masak serta
gula. Bagi yang alergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam
dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan yang
memakan Apam saja (seunge Apam), yang dulu di Aceh Besar disebut Apam beb.
Selain dimakan langsung, dapat juga Apam itu direndam beberapa lama ke dalam
kuahnya sebelum dimakan. Cara demikian disebut Apam Leu’eop. Setelah semua
kuahnya habis dihisap barulah Apam itu dimakan.
Apam yang
telah dimasak bersama kuah tuhe siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja
dipanggil/diundang ke rumah. Dan siapapun yang lewat/melintas di depan rumah,
pasti sempat menikmati hidangan Khanduri Apam ini. Bila mencukupi, kenduri Apam
juga diantar ke Meunasah (surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang
tinggal di kampung lain. Begitulah, acara toet Apam diadakan dari rumah ke
rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam (bulan Rajab)
sebulan penuh.
2.3 Sejarah Khanduri Apam
Tradisi
Khanduri Apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah
Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang
sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak
satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan
atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan / menyedihkan hati itu, ditambah
lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan
masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah
masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah
ikutan tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan
masyarakat Aceh.
Selain pada
buleuen Apam (bulan Rajab), kenduri Apam juga diadakan pada hari kematian.
Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan
disuguhi dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya.
Hanya dimakan dengan kukuran kelapa yang diberi gula (di lhok ngon u).
Khanduri
Apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat, seperti gempa
tsunami, hari Minggu, 26 Desember 2004. Tujuannya adalah sebagai upacara Tepung
Tawar (peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal. Akibat gempa
besar, boleh jadi si mayat dalam kubur telah bergeser tulang-belulangnya.
Sebagai turut berduka-cita atas keadaan itu, disamping memohon rahmat bagi
orang yang telah meninggal tersebut, maka diadakanlah khanduri Apam tersebut.
Selain itu,
ada juga yang mengatakan bahwa latar belakang pelaksanaan kenduri apam pada
mulanya ditujukan kepada laki-laki yang tidak shalat Jum’at ke mesjid tiga kali
berturut-turut, sebagai dendanya diperintahkan untuk membuat kue apam sebanyak
100 buah untuk dianta r ke mesjid dan
dikendurikan (dimakan bersama-sama) sebagai sedekah. Dengan semakin seringnya
orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui
oleh masyarakat bahwa orang tersebut sering meninggalkan shalat Jum’at.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
literatur dan wawancara dengan informan, pelaksanaan kenduri (hajatan) apam dilaksanakan pada bulan Rajab,
terutama pada malam 27 rajab yang diperingati sebagai perjalanan Isra’ Mi’raj
Nabi Muhammad SAW. Pada malam hari masyarakat berkumpul di meunasah, mesjid
atau di rumah-rumah untuk mendengarkan riwayat Isra’ Mi’raj yang disampaikan
dalam bentuk syair prosa.
Khanduri
Apam (Kenduri Serabi) adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh berupa pada
bulan ke tujuh (buleun Apam) dalam kalender Aceh. Buleun Apam adalah salah satu
dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh” yang setara dengan bulan Rajab dalam
Kalender Hijriah. Buleun artinya bulan dan Apam adalah sejenis makanan yang
mirip serabi.
DAFTAR PUSTAKA
http://saweugampoeng.blogspot.com/2011/08/kanduri-apam.html
Rusdi sufi dkk. 2002. Adat
Istiadat Masyarakat Aceh. Dinas kebudayaan provinsi NAD.
0 comments:
Post a Comment